oleh

Fakta Politik Saat Ini menurut  Ferry Liando


TopManado.com, MANADO-Sebagaimana disampaikan oleh Ferry Liando dalam wawancara dengan Topmanado.com di FGD KPU Manado, Senin (05/11/2018) mengungkapkan bahwa untuk mengukur apakah pemilu itu benar-benar demokratis atau tidak, ada 4 instrumen  yang antara lain adanya UU kepemiluan yang baik, kualitas  partai politik, profesionalisme penyelenggara serta pendidikan politik pemilih.

UU nomor 7 tahun 2017 sebagai dasar hukum pelaksanaan pemilu 2019 masih dalam proses pengujian apakah dengan UU ini mampu menjadi pengawal  pemilu lebih demokratis. Permohonan judicial review terhadap sejumlah norma dalam UU ini di Mahkamah Konstitusi menjadi sebuah tanda awas bahwa UU ini sepertinya belum akan mengatasi banyak persoalan. Diloloskannya  calon anggota legislatif  yang pernah menjadi narapidana korupsi tentu kian memperkuat perepsi ini. Kelemahan lain dari  UU ini adalah menyangkut politik uang bahwa pelaku yang bisa dijerat hanya pada Pemberi. Berbeda dengan UU nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada bahwa baik pemberi dan penerima bisa dijerat hukum pidana, jika terbukti melakukan praktek politik uang.

Partai politik diharapkan banyak untuk menutupi kelemahan UU itu. Harusnya semua parpol memiliki visi besar bahwa memilih caleg adalah dalam rangka kontribusi parpol dalam menjaga dan membenahi negara.

Kelemahan dan ancaman terbesar bagi negara ini adalah tidak cakapnya para penyelengara dalam mengelola negara ini. Sebagian hanya memanfaatkan kuasa dan daya yang dimilikinya untuk memperkaya diri. Tentu ini menjadi tanggung jawab parpol, sebab dari parpolah sesungguhnya para pemimpin politik itu berasal. Penyakit menyimpang yang dilakukan sebagai parpol selama ini adalah lebih banyak mengusung calon yang memiliki kerabat dengan elit parpol serta calon yang hanya mampu sebatas aspek finansial namun terkendala dari aspek kepemimpinan. Mereka yang memiliki kapasitas, kerap diabaikan atau hanya sekedar pelengkap saja.

Instrumen pemilu demokratis sangat di tentukan pula oleh penyelenggaranya. Putusan DKPP selama ini banyak penyelenggara yang akhirnya dipecat karena pelanggaran etika. Ini merupakan bukti bahwa ternyata belum semua penyelenggara memiliki kemampuan mengelola proses penyelenggaranya. Padahal biaya negara untuk penyelenggara baik untuk seleksi, honor, bimtek, rapat koordinasi nasional, rapat koordinasi pimpinan, sosialisasi, orientasi tugas pembekalan, evaluasi dan segala bentuk pertemuan lainnya tidaklah sedikit.  

Ketiga indikator atau instrumen diatas sepertinya kita masih terlalu sulit untuk berharap  walaupun tidak selamanya harus digeneralisir sebab baik UU, parpol maupun penyelenggara masih ada bagian-bagian yang mungkin bisa dikembangkan bagi kemapanan berdemokrasi. Sekarang kita berharap penuh pada pemilih. Indikator ini menjadi benteng utama tegaknya demokrasi. Meski UU belum menjadi alat penuntun yang ideal, kaderisasi parpol yang belum sepenuhnya terarah serta profesionalisme penyelenggara yang belum semuanya siap, namun untuk menjaga apakah pemilu 2019 itu demokratis maka sesungguhnya masih ada satu harapan yakni pemilih.

Tantangan demokrasi saat ini bahwa Sebagian pemilih masih menganggap demokrasi sebagai pesta bukan pesta demokrasi. Pesta selalu diidentikkan dengan pemberian bingkisan dan hura-hura Sehinga pemilu dan Pilkada, tidak sempurna manakalah tidak ada cara-cara seperti itu. Jika kita mengharapkan pemilih sebagai benteng terakhir demokrasi maka 5 bulan sebelum ke tempat pemungutan suara bukanlah sesuatu yang terlambat.

Pemerintah bersama DPR RI telah menyepakati bahwa fokus anggaran untuk 2019 diarahkan pada pengembangan sumber daya manusia. Meski terlambat namun keputusan ini adalah langkah tepat. Empat tahun pemerintahan berlalu, kebijakan anggaran lebih di fokuskan pada pengembangan infrastruktur. Kebijakan ini tidak salah tapi mengandung resiko. Penyakit sosial hari ini merupakan sebuah efek yang amat sulit di hindari akibat pilihan itu. Pendidikan Karakter diabaikan sehingga orang begitu mudah menghakimi, berbohong, main fitnah dan sikap berbeda selalu dianggap musuh.

Program empat Pilar dan bela negara dengan maksud untuk pendidikan Budi pekerti gagal total. Program ini lebih banyak dimanfaatkan oleh para politisi yang melakukan konsolidasi parpol di daerah-darah atau kesempatan para elit untuk mengunjungi dapil atau keluarganya dengan menggunakan fasilitas SPPD. Fokus APBN untuk pengembangan sumber daya manusia diharapkan dapat menyentuh pendidikan politik bagi masyarakat. Perlu anggaran khusus bagi pegiat-pegiat demokrasi yang selama ini peduli bagi kecerdasan politik masyarakat. Fungsi pendidikan politik yang harusnya menjadi tugas utama parpol gagal sehingga harus diambil alih oleh kelompok masyarkat independen. Perlu kampanye-kampanye reguler untuk melatih nalar poltik masyarakat.

Harus ada cara-cara sedikit  memaksa agar pemilih keluar dari zona irasional. Pemilih harus tahu bahwa dari mereka maka negara ini akan menjadi lebih baik. Dari mereka maka tidak akan ada lagi anggota DPR yang hanya memikirkan diri mereka sendiri. Tidak ada lagi anggota DPR yang selalu bolak balik keluar daerah atau keluar negeri dengan alasan studi banding tanpa melahirkan output kebijakan. Tidak ada lagi yang berurusan dengan penegak hukum karena korupsi atau amoral dan tidak ada lagi yang hanya sekedar mengisi daftar hadir lalu menghilang. Lima tahun menjabat sebagai wakil rakyat tetapi tidak jelas apa yang diperbuatnya untuk kepentingan yang di wakilnya.

Fokus APBN bagi pengembangan SDM ini sedapat mungkin linier dengan kebijakan pemerintah daerah. Pengalaman selama ini perangkat daerah yang berurusan dengan pendidikan politik masyarakat seperti  Badan Kesatuan Bangsa dan Politik kerap tidak mendapat perhatian serius dari penyusun anggaran. Padahal jika perangkat daerah ini diberdayakan maka akan membantu tingkat pendikan poltik paling tidak untuk dapat mengawal masyarakat  agar bisa menjadi pemilih yang baik. Sebab pemimpin yang baik selalu datang dari pemilih yang baik. Semakin baik pemilih itu maka akan lahir pemimpin yang lebih baik. (CHRISTY)